Senin, 08 Juni 2015

Tarsulan Tradisi Suku Kutai

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Tarsulan merupakan salah satu seni budaya suku Kutai berupa sya’ir yang biasanya dilantunkan saat bekhatam Al-quran dan perkawinan. Tarsulan dipakai sebagai kata-kata pembuka sebelum pembacaan ayat suci Al-Qur’an pada acara Khataman Al-Qur’an.
Namun sesuai dengan perkembangan zaman tradisi tarsulan pun mengalami perubahan baik dari bentuk penyampaiannya maupun dalam bentuk pembacaannya tergantung dari daerah masing-masing menurut apresiasi masyarakat kutai di suatu daerah.

B.     Rumusan Masalah

1.      Asal Usul Tarsulan
2.      Macam-macam Tarsulan
3.      Cara Penyampaian Tarsulan
4.      Perkembangan Tarsulan




















C.    Tarsulan Seni Budaya Suku Kutai
Tarsulan adalah salah satu seni budya suku Kutai yang sampai sekarang masih ada di dalam masyarakatnya. Kalau dilihat dari tujuan digelarnya; tarsulan ini ada dua macam, yaitu: Tarsulan Berkhatam Al Quran dan Tarsulan Perkawinan. Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran berkaitan dengan tardisi agama, khususnya agama Islam. Sedangkan Tarsulan Perkawinan berkaitan dengan tradisi adat perkawinan suku Kutai.
Tradisi tarsulan diawali masuknya agama Islam di daerah Kerajaan Kutai Ing Kertanegara. Seperti kita ketahui agama Islam berasal dari Arab yang masuk ke Nusantara ini melalui para pedagang Gujarat. Maka tidaklah mengherankan bersama masuknya agama Islam, masuk pula seni sastranya yang di antaranya bentuk ’syair’. Dari bentuk syair inilah yang menimbulkan keinginan dari salah seorang bangsawan Kutai untuk menciptakan seni sastra yang dapat dikaitkan dengan adat budaya suku Kutai tersebut. Maka sesuai ’nafas’ Islamnya lahirlah Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran dan dilanjutkan dengan Tarsulan Perkawinan.
Oleh sebab itu tidak heran kalau ada anggapan bahwa seni budaya tarsulan adalah seni budaya milik kaum bangsawan kerajaan Kutai bukan milik masyarakat umum. Namun ternyata tarsulan ini juga memasyarakat dalam suku Kutai, khususnya Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran.
Menurut hasil penelitian; dahulunya tuturan Tarsulan tersebut disampaikan oleh Penerasul dengan cara menghafal. Tetapi dalam perkembangannya karena Penerasul merasa sulit untuk menghafal, maka mereka menggunakan bentuk tertulis (naskah). Dengan demikian pada masa sekarang ini orang yang beterasul diistilahkan dengan membaca terasul atau pembacaan terasul. Walaupun begitu di daerah pedalaman (di sekitar Danau Jempang) masih ada Penerasul yang menyampaikannya dengan menghafal. Penerasul tersebut mengatakan bahwa Beliau belajar ’Berterasul’ tersebut dengan cara dilisankan (pewarisannya secara lisan).
Cara pembacaan tarsulan sebenarnya dasarnya adalah seperti membaca syair karena di dalam masyarakat kita juga ada mengenal pembacaan syair. Sedangkan kata syair sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu; syurr yang artinya berdendang atau bertembang. Ada assumsi pembacaan tarsul ini seperti membaca syair karena memang bentuk penulisan tarsul adalah bentuk syair. Apalagi lahirnya tarsulan ini dilatari seperti penjelaskan di atas. Hanya saja pengembangan pembacaan tarsulan ini sesuai dengan apresiasi masyarakat pembacanya. Sehingga masing-masing pembaca (pembaca di daerah lain) agak berbeda. Perbedaan ini di dalam sastra lisan merupakan variasi yang wajar. Kalau dikatakan yang mana yang benar, maka semua ‘lagu’ pembacaan itu benar karena itu merupakan hasil apresiasi seni. Tetapi sebagai ‘alat ukurnya’ dapat kita gunakan dasar ‘nafas membaca syair’.
Orang yang menyampaikan/penutur Tarsulan disebut Penerasul atau Tukang Terasul. Untuk Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran biasanya hanya terdiri satu orang saja. Jenis kelamin Penerasul tergantung pada jenis kelamin yang berkhatam Al Quran. Berbeda dengan Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran, Tarsulan Perkawinan; Penerasulnya harus berpasangan. Penerasul laki-laki mewakili mempelai laki-laki, dan Penerasul perempuan mewakili mempelai wanita.
D.    Macam-Macam Tarsulan
1.      Tarsulan Bekhatam/Batamat al-Qur’an
Tarsulan Berkhatam/Batamat Al Quran biasanya digelar oleh masyarakat Kutai apabila ada putra-putri mereka yang akan berkhatam Al Quran. Kelengkapan tradisi ini sebenarnya sama dengan kelengkapan berkhatam Al Quran pada suku Banjar ataupun suku Kutai sendiri yang berkhatam Al Quran tanpa menggelar Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran, yaitu: Ajuran yang ditancapkan pada tambaan pulut (nasi ketan yang dipadatkan dan dibentuk seperti gunung) serta payung kembang (payung yang dibuat dari bungan melati dan mawar).
  
Tata cara tradisi berterasul ini, yaitu: sebelum para santri memulai membaca Al Quran, maka Penerasul memulainya dengan membacakan tarsul. Fungsi pembacaan tarsulan pada acara berkhatam Al Quran ini adalah sebagai pengantar awal untuk pembacaan Al Quran. Berikut salah satu versi Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran:

Assalamualaikum saya ucapkan                 
Kepada hadirin hadirat sekalian                             
Inilah tarsul saya bacakan                          
Siapa sudi tulung dengarkan                                   

Ada suatu kayon namanya                          
Di atas nasi ditajukannya                            
Seekor burung dari puncaknya                               
Menanggung tarsul dengan pantunnya                   

Betamat Quran tamat bacaan                                 
Dengan anugrah karunia Tuhan                            
Ajaran agama jangan ditinggalkan            
Di akhirat nanti kita dapatkan
                                
Membaca Quran besar pahalanya             
Kepada pendengar rahmat baginya                       
Jika mengaku akan hambanya                                
Di sisi Tuhan akan tempatnya                                 

Bentuk Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran pada kutipan di atas terlihat sekali bentuknya adalah bentuk syair. Kemudian dari segi isi merupakan nasihat agama. Kalau Syair bentuk puisi lama dalam sastra biasanya isinya adalah hikayat atau cerita. Tetapi pada tarsulan ini isinya murni berupa nasihat agama atau informasi kemasyarakatan.
2. Tarsulan Perkawinan
Tarsulan Perkawinan biasanya disampaikan oleh dua orang penerasul, yaitu penerasul laki-laki dan penerasul wanita. Penerasul laki-laki mewakili mempelai laki-laki dan penerasul wanita mewakili mempelai wanita. Kedua penerasul tersebut dalam beterasul saling berbalas pantun atau bersahut-sahutan.
Pembacaan tarsulan diawali dengan duduknya kedua mempelai di pelaminan. Setelah kedua mempelai duduk di pelaminan, maka kedua penerasul duduk/berdiri di tempat yang sudah disediakan di depan pelaminan. Kemudian mulailah pembacaan tarsulan perkawinan tersebut.
Kelengkapan dalam kegiatan pembacaan Tarsulan Perkawinan ini adalah; dua buah Astakhona atau Astagona (perubahan ini dimungkinkan karena adanya pengaruh pelafalan penuturnya).Astakhona jumlahnya sepasang, yaitu: Astakhona mempelai laki-laki dan Astakhona mempelai wanita). Astakhona terdiri dari; tambaan pulut (nasi ketan yang dipadatkan) di atas talam kuningan yang dihiasi dengan dadar telur dibuat berbagai bentuk (sekaligus sebagai hiasan). Di tengah-tengah tambaan pulut tersebut dipancang isi batang pisang yang dihiasi dengan bunga-bunga dari kertas (disebut Kayon)dan di sekitarnya ditancapkan bendera-bendera kertas kecil (seperti ajuran). Kemudian di puncak Kayon tersebut bertengger seekor burung merpati yang terbuat dari kayu atau kertas dan di ujung paruhnya tergantung ’naskah Tarsulan Perkawinan’. Berikut contoh tuturan Tarsulan Perkawinan:

Pria      : Dengan nama Allah kami ucapkan            Wanita   : Ada suatu kayon namanya
             Menghadap hadirin serta undangan                             diatas nasi ditajukkannya
 Terima kasih kami hidangkan                             seekor burung dengan dari puncaknya
             Dihadapan hadirin kami kumandangkan           menanggong terasul dengan pantunya

Pria      :Assalamualaikum duhai Adinda                    Wanita :Walaikumsalam jawab adinda
            Sambutlah salam dari Kakanda                                  Silakan masuk duhai kakanda
            Kakanda datang bukan bercanda                               Menyilah duduk bersama adinda
            Besarnya hajat didalam dada                                      Apakah hajat didalam dada

Pria      :Cabe semat didalamnya padi                         Wanita :Wahai kakanda muda taruna
            Simpanlah gunting didalam cawan                             adinda miskin lagi hina
            Besarlah hajat didalam hati                                   Sungguh besar hati belum sempurna
            Ingin menyunting bunga awan                                   tiada orang tiada guna
           
























      E.  Perkembangan Seni Tarsulan


Sebagai bagian dari seni sudah tentu seni Tarsulan ini berkembang sesuai apresiasi dari kolektifnya yang  didasari akan fungsi di dalam masyarakatnya. Kalau secara teradisional seni tarsulan ini dapat dibedakan seperti tersebut di atas tadi, yaitu: Tarsulan Berkhatam Al Quran dan Tarsulan Perkawinan. Tetapi dalam perkembangannya seni tarsulan ini diapresiasi dan berkembang dalam kolektifnya berdasarkan tujuan dan isinya.
Berdasarkan tujuan penyampaian dan isi tarsulan tersebut, maka dibedakanlah tarsulan dari aspek tujuan dan temanya. Ada tarsulan yang untuk pelaksanaan Erau, Sunatan, Lamaran ataupun acara ulang tahun anak-anak dan lain-lain. Namun ada pula yang bertema politik misalnya, menjadi sarana kompanye politik; tarsulan yang bertema sosial untuk sarana propaganda sosial maupun kritik sosial dan lain sebagainya.
Pada masa sekarang ini tarsulan berdasarkan tema inilah yang marak menjadi objek lomba-lomba yang dilaksanakan masyarakatnya. Sedangkan Tarsulan Berkhatam Al Quran dan Tarsulan Perkawinan jarang sekali digelar karena untuk pergelaran tarsulan teradisional ini memerlukan beberapa kelengkapan tertentu. Misalnya; Tarsulan Berkhatam Al Quran  kelengkapannya adalah “Tambaan Nasi Ketan, Ajuran dan Payung Kembang”. Begitu pula dengan Tarsulan Perkawinan kelengkapan utamanya adalah sepasang “Astakhona”. Semua kelengkapan ini memerlukan pembiayaan yang cukup besar. Selain itu sulit sekali sekarang ini untuk mendapatkan penerasul, terutama penerasul yang berpasangan untuk Tarsulan Perkawinan. Kedua hal inilah paling tidak faktor penyebab “enggannya” masyarakat suku Kutai melaksanakan kegiatan seni tarsulan ini.
Sebagai seni tradisional diharapkan apresiasi masyarakatnya dan pemerintah berkembang ke arah yang positif.









F.     Kesimpulan


Sesuai dengan perkembangan zaman, tarsulan mngalami inovasi. Tarsulan kini tidak hanya dipakai untuk bekhatam Al-Qur’an dan perkawinan saja, namun berdasarkan tujuannya, untuk pelaksanaan erau, Sunatan, Lamaran ataupun acara ulang tahun anak-anak dan lain-lain. Sedangkan berdasarkan temanya ada politik dan sosial.
Perubahan yang terjadi tidak hanya itu saja namun terlihat pada cara penyampaianya. Dahulu masyarakat kutai bertarsul dengan lisan (menghafal) namun kini banyak masyarakat yang tidak sanggup lagi untuk menghafal sehingga tarsulan disampaikan dengan membaca teks tarsulan oleh pererasul.






















Daftar Pustaka

Arifin, Syaiful. 1995. Terasul Betamat Suku Kutai Ditinjau dari Bentuk Puisi Lama (Penelitian). Samarinda: Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP unmul

Arifin, Syaiful. 1997. Tarsulan Perkawinan Suku Kutai Ditinjau dari Bentuk Puisi Lama (Penelitian). Samarinda: Lembaga Penelitian Universitas Mulawarman

Tidak ada komentar:

Posting Komentar