BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tarsulan
merupakan salah satu seni budaya suku Kutai berupa sya’ir yang biasanya dilantunkan
saat bekhatam Al-quran dan perkawinan. Tarsulan dipakai sebagai kata-kata
pembuka sebelum pembacaan ayat suci Al-Qur’an pada acara Khataman Al-Qur’an.
Namun sesuai
dengan perkembangan zaman tradisi tarsulan pun mengalami perubahan baik dari
bentuk penyampaiannya maupun dalam bentuk pembacaannya tergantung dari daerah
masing-masing menurut apresiasi masyarakat kutai di suatu daerah.
B.
Rumusan Masalah
1.
Asal
Usul Tarsulan
2.
Macam-macam
Tarsulan
3.
Cara
Penyampaian Tarsulan
4.
Perkembangan
Tarsulan
C. Tarsulan Seni Budaya Suku Kutai
Tarsulan
adalah salah satu seni budya suku Kutai yang sampai sekarang masih ada di dalam
masyarakatnya. Kalau dilihat dari tujuan digelarnya; tarsulan ini ada dua
macam, yaitu: Tarsulan Berkhatam Al Quran
dan Tarsulan Perkawinan. Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran
berkaitan dengan tardisi agama, khususnya agama Islam. Sedangkan Tarsulan Perkawinan berkaitan dengan
tradisi adat perkawinan suku Kutai.
Tradisi
tarsulan diawali masuknya agama Islam di daerah Kerajaan Kutai Ing Kertanegara. Seperti kita ketahui agama Islam berasal
dari Arab yang masuk ke Nusantara ini melalui para pedagang Gujarat. Maka
tidaklah mengherankan bersama masuknya agama Islam, masuk pula seni sastranya
yang di antaranya bentuk ’syair’.
Dari bentuk syair inilah yang menimbulkan keinginan dari salah seorang
bangsawan Kutai untuk menciptakan seni sastra yang dapat dikaitkan dengan adat
budaya suku Kutai tersebut. Maka sesuai ’nafas’
Islamnya lahirlah Tarsulan
Berkhatam/Betamat Al Quran dan dilanjutkan dengan Tarsulan Perkawinan.
Oleh
sebab itu tidak heran kalau ada anggapan bahwa seni budaya tarsulan adalah seni
budaya milik kaum bangsawan kerajaan Kutai bukan milik masyarakat umum. Namun
ternyata tarsulan ini juga memasyarakat dalam suku Kutai, khususnya Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran.
Menurut
hasil penelitian; dahulunya tuturan Tarsulan
tersebut disampaikan oleh Penerasul
dengan cara menghafal. Tetapi dalam perkembangannya karena Penerasul merasa sulit untuk menghafal, maka mereka menggunakan
bentuk tertulis (naskah). Dengan demikian pada masa sekarang ini orang yang beterasul diistilahkan dengan membaca terasul atau pembacaan
terasul. Walaupun begitu di daerah pedalaman (di sekitar Danau Jempang)
masih ada Penerasul yang
menyampaikannya dengan menghafal. Penerasul
tersebut mengatakan bahwa Beliau belajar ’Berterasul’ tersebut dengan cara
dilisankan (pewarisannya secara lisan).
Cara pembacaan tarsulan
sebenarnya dasarnya adalah seperti membaca syair karena di dalam masyarakat
kita juga ada mengenal pembacaan syair. Sedangkan kata syair sendiri berasal
dari bahasa Arab yaitu; syurr yang
artinya berdendang atau bertembang. Ada assumsi pembacaan tarsul
ini seperti membaca syair karena memang bentuk penulisan tarsul adalah bentuk
syair. Apalagi lahirnya tarsulan ini dilatari seperti penjelaskan di atas.
Hanya saja pengembangan pembacaan tarsulan ini sesuai dengan apresiasi
masyarakat pembacanya. Sehingga masing-masing pembaca (pembaca di daerah lain)
agak berbeda. Perbedaan ini di dalam sastra lisan merupakan variasi yang wajar.
Kalau dikatakan yang mana yang benar, maka semua ‘lagu’ pembacaan itu benar
karena itu merupakan hasil apresiasi seni. Tetapi sebagai ‘alat ukurnya’ dapat
kita gunakan dasar ‘nafas membaca syair’.
Orang
yang menyampaikan/penutur Tarsulan
disebut Penerasul atau Tukang Terasul. Untuk Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran
biasanya hanya terdiri satu orang saja. Jenis kelamin Penerasul tergantung pada jenis kelamin yang berkhatam Al Quran.
Berbeda dengan Tarsulan Berkhatam/Betamat
Al Quran, Tarsulan Perkawinan;
Penerasulnya harus berpasangan. Penerasul
laki-laki mewakili mempelai laki-laki, dan Penerasul
perempuan mewakili mempelai wanita.
D. Macam-Macam Tarsulan
1. Tarsulan Bekhatam/Batamat al-Qur’an
Tarsulan Berkhatam/Batamat Al Quran biasanya digelar oleh masyarakat Kutai apabila ada
putra-putri mereka yang akan berkhatam Al Quran. Kelengkapan tradisi ini
sebenarnya sama dengan kelengkapan berkhatam Al Quran pada suku Banjar ataupun
suku Kutai sendiri yang berkhatam Al Quran tanpa menggelar Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran, yaitu: Ajuran yang ditancapkan pada tambaan
pulut (nasi ketan yang dipadatkan dan
dibentuk seperti gunung) serta payung
kembang (payung yang dibuat dari bungan melati dan mawar).
Tata
cara tradisi berterasul ini, yaitu: sebelum para santri memulai
membaca Al Quran, maka Penerasul memulainya dengan membacakan tarsul. Fungsi pembacaan tarsulan
pada acara berkhatam Al Quran ini adalah sebagai pengantar awal untuk pembacaan
Al Quran. Berikut salah satu versi Tarsulan
Berkhatam/Betamat Al Quran:
Assalamualaikum saya ucapkan
Kepada hadirin hadirat sekalian
Inilah tarsul saya bacakan
Siapa sudi tulung dengarkan
Ada suatu kayon namanya
Di atas nasi ditajukannya
Seekor burung dari puncaknya
Menanggung tarsul dengan
pantunnya
Betamat Quran tamat bacaan
Dengan anugrah karunia Tuhan
Ajaran agama jangan ditinggalkan
Di akhirat nanti kita dapatkan
Membaca Quran besar pahalanya
Kepada pendengar rahmat baginya
Jika mengaku akan hambanya
Di sisi Tuhan akan tempatnya
Bentuk
Tarsulan Berkhatam/Betamat Al Quran
pada kutipan di atas terlihat sekali bentuknya adalah bentuk syair. Kemudian
dari segi isi merupakan nasihat agama. Kalau Syair bentuk
puisi lama dalam sastra biasanya isinya adalah hikayat atau cerita. Tetapi pada
tarsulan ini isinya murni berupa nasihat agama atau informasi kemasyarakatan.
2. Tarsulan Perkawinan
2. Tarsulan Perkawinan
Tarsulan Perkawinan biasanya disampaikan oleh dua orang penerasul,
yaitu penerasul laki-laki dan penerasul wanita. Penerasul laki-laki mewakili
mempelai laki-laki dan penerasul wanita mewakili mempelai wanita. Kedua
penerasul tersebut dalam beterasul
saling berbalas pantun atau bersahut-sahutan.
Pembacaan
tarsulan diawali dengan duduknya kedua mempelai di pelaminan. Setelah kedua
mempelai duduk di pelaminan, maka kedua penerasul duduk/berdiri di tempat yang
sudah disediakan di depan pelaminan. Kemudian mulailah pembacaan tarsulan
perkawinan tersebut.
Kelengkapan
dalam kegiatan pembacaan Tarsulan
Perkawinan ini adalah; dua buah Astakhona atau Astagona
(perubahan ini dimungkinkan karena adanya pengaruh pelafalan
penuturnya).Astakhona jumlahnya sepasang, yaitu: Astakhona mempelai laki-laki dan Astakhona
mempelai wanita). Astakhona terdiri dari; tambaan
pulut (nasi ketan yang dipadatkan) di atas talam kuningan yang dihiasi
dengan dadar telur dibuat berbagai
bentuk (sekaligus sebagai hiasan). Di tengah-tengah tambaan pulut tersebut dipancang isi batang pisang yang dihiasi dengan bunga-bunga dari kertas
(disebut Kayon)dan di sekitarnya ditancapkan bendera-bendera kertas kecil (seperti ajuran). Kemudian di puncak Kayon tersebut bertengger seekor burung merpati yang terbuat dari
kayu atau kertas dan di ujung paruhnya tergantung ’naskah Tarsulan Perkawinan’. Berikut contoh tuturan
Tarsulan Perkawinan:
Pria : Dengan nama Allah kami ucapkan
Wanita : Ada suatu kayon namanya
Menghadap hadirin serta undangan diatas nasi ditajukkannya
Terima kasih kami hidangkan seekor burung dengan dari puncaknya
Dihadapan hadirin
kami kumandangkan menanggong terasul dengan pantunya
Pria :Assalamualaikum duhai Adinda Wanita :Walaikumsalam jawab
adinda
Sambutlah salam dari Kakanda Silakan masuk duhai kakanda
Kakanda datang bukan bercanda Menyilah duduk bersama adinda
Besarnya hajat didalam dada Apakah hajat didalam dada
Pria :Cabe semat didalamnya padi Wanita :Wahai kakanda
muda taruna
Simpanlah gunting didalam
cawan adinda
miskin lagi hina
Besarlah hajat didalam
hati Sungguh besar hati belum sempurna
Ingin menyunting bunga
awan tiada
orang tiada guna
E. Perkembangan Seni Tarsulan
Sebagai bagian dari
seni sudah tentu seni Tarsulan ini berkembang sesuai apresiasi dari kolektifnya
yang didasari akan fungsi di dalam
masyarakatnya. Kalau secara teradisional seni tarsulan ini dapat dibedakan
seperti tersebut di atas tadi, yaitu: Tarsulan Berkhatam Al Quran dan Tarsulan
Perkawinan. Tetapi dalam perkembangannya seni tarsulan ini diapresiasi dan
berkembang dalam kolektifnya berdasarkan tujuan dan isinya.
Berdasarkan tujuan
penyampaian dan isi tarsulan tersebut, maka dibedakanlah tarsulan dari aspek
tujuan dan temanya. Ada tarsulan yang untuk pelaksanaan Erau, Sunatan, Lamaran
ataupun acara ulang tahun anak-anak dan lain-lain. Namun ada pula yang bertema
politik misalnya, menjadi sarana kompanye politik; tarsulan yang bertema sosial
untuk sarana propaganda sosial maupun kritik sosial dan lain sebagainya.
Pada masa sekarang ini
tarsulan berdasarkan tema inilah yang marak menjadi objek lomba-lomba yang
dilaksanakan masyarakatnya. Sedangkan Tarsulan Berkhatam Al Quran dan Tarsulan
Perkawinan jarang sekali digelar karena untuk pergelaran tarsulan teradisional
ini memerlukan beberapa kelengkapan tertentu. Misalnya; Tarsulan Berkhatam Al
Quran kelengkapannya adalah “Tambaan Nasi Ketan, Ajuran dan Payung Kembang”. Begitu pula dengan
Tarsulan Perkawinan kelengkapan utamanya adalah sepasang “Astakhona”. Semua kelengkapan ini memerlukan pembiayaan yang cukup
besar. Selain itu sulit sekali sekarang ini untuk mendapatkan penerasul,
terutama penerasul yang berpasangan untuk Tarsulan Perkawinan. Kedua hal inilah
paling tidak faktor penyebab “enggannya” masyarakat suku Kutai melaksanakan
kegiatan seni tarsulan ini.
Sebagai seni tradisional
diharapkan apresiasi masyarakatnya dan pemerintah berkembang ke arah yang
positif.
F.
Kesimpulan
Sesuai dengan
perkembangan zaman, tarsulan mngalami inovasi. Tarsulan kini tidak hanya dipakai
untuk bekhatam Al-Qur’an dan perkawinan saja, namun berdasarkan tujuannya,
untuk pelaksanaan erau, Sunatan, Lamaran ataupun acara ulang tahun anak-anak dan lain-lain.
Sedangkan berdasarkan temanya ada politik dan sosial.
Perubahan yang
terjadi tidak hanya itu saja namun terlihat pada cara penyampaianya. Dahulu
masyarakat kutai bertarsul dengan lisan (menghafal) namun kini banyak
masyarakat yang tidak sanggup lagi untuk menghafal sehingga tarsulan
disampaikan dengan membaca teks tarsulan oleh pererasul.
Daftar Pustaka
Arifin, Syaiful. 1995. Terasul Betamat Suku Kutai Ditinjau dari
Bentuk Puisi Lama (Penelitian). Samarinda: Pend. Bahasa dan Sastra
Indonesia FKIP unmul
Arifin, Syaiful. 1997. Tarsulan Perkawinan Suku Kutai Ditinjau dari
Bentuk Puisi Lama (Penelitian). Samarinda: Lembaga Penelitian Universitas
Mulawarman
Tidak ada komentar:
Posting Komentar